Selasa, 29 Oktober 2013

cerpen

CERPEN BERSELISIH DISETIAP WAKTU

BERSELISIH DISETIAP WAKTU
“Kau ini terlalu ceroboh” bentakku kesal sambil menunjuk wajah Doni. Aku berlalu   menuju ruang tengah.
“Kataku kan benar, lagi pula aku nggak mungkin salah kan!” ujar Doni.
            Aku semakin kesal akan sikap Doni yang selalu menganggap dirinya benar itu. Padahal dia belum berfikir sebelum mengambil keputusan. Sampai –sampai ku teringat pada peristiwa 10 tahun yang lalu, dimana Aku dan teman-teman termasuk Doni yang selalu menganggap dirinya paling benar itu.
            Ketika itu ……..minggu pagi, saat matahari baru muncul dari ufuk timur. Burung-burung berkicau sekeras dan semerdu-merdunya. Aku pun dengan segar membuka mata dari tidurku.
            “Zak …Zak…. Zaka! ”
Terdengar suara teriakan teman-teman memanggilku, mendorongku bangun dari tempat tidur.
“hey..ada apa” kataku
“katanya mau berpetualang ke hutan?” kata Ilham salah satu temanku.
 “Ohhh   lali aku” jawabku dengan memakai bahasa jawa yang hanya satu-satunya yang ku tau, yang artinya lupa
            Aku berangkat ke lapangan sambil menunggu teman-teman yang lain. Si Doni datang dengan dada membusung ke depan, berjalan seperti seorang yang gagah dengan sikap cuek dan angkuh serta tanpa mengucapkan salam sedikitpun.
“hey Doni, jangan mentang-mentang orang kaya kamu seenaknya datang, paling tidak ucapkan salam kek” kata temanku Fajar dengan wajah sedikit kesal.
“weh weh weh.. trus kalau gue orang kaya, kalau gue datang seenaknya, kalau gue tidak mengucapkan salam. Masalah buat loe?” jawab Doni dengan sombong.
Fajar semakin kesal sampai-sampai dia marah dan langsung mendorong Doni hingga terjatuh.
“heh jangan sombong kamu yaaa.” kata Fajar.
“wwoooow ada yang lagi marah nih” ujar Doni.
“terus kalau gue marah, masalah buat loh?” jawab Fajar sambil meledekinya.
“nggak masalah tuh, soalnya kamu kan nggak level denganku” jawab Doni.
“ehh eh eh jangan tengkarlah kita kan teman, seharusnya antar teman itu harus rukun, bukan malah tengkar-tengkar nggak jelas!” kataku sanbil menasehati mereka.akhirnya si Doni dan si Fajar tidak rebut lagi dan petualangan kembali dilanjukan.
            Matahari semakin meninggi, cuaca semaki panas, dan tibalah kami diatas bukit.
“wah…indah sekali” kataku.
 “wah betul Zak, saatnya gue bilang….. WAW CETAR MEMBAHANA BADAI” teriak Fajar dengan perkataan lebay.
            Beberapa detik kemudian Doni menemukan sebuah rumah bambu. Dimana disana terdapat sepasang suami istri yang sudah tua dan anjing anjing yang menemani mereka.
“hey teman-teman, disana ada rumah tuh, trus itu ada kakek dan nenek-nenek dan kelihatannya ada banyak anjing tuh,, ayo kesana!!” kata Doni.
“uh jangan eehh. Aku takut!!..nanti pas anu.!” Jawab Ilham dengan wajah ketakutan.
“Ham.. itu kan cuma kakek dan nenek-nenek yang sudah tua, masak takut? ” ujar Fajar.
“aku bukan takut karena itu, tapi aku takut karena anjing-anjing itu tuh, nanti kalau pas digigit gimana?” jawab Ilham.
            Fajar menakut-nakuti ilham dengan menirukan suara gong-gongan anjing.
“ssssst …. Dengar itu……..hug…hug…hug…!!!”
“Aaaaaaaaaa!!!” Ilham lari mendahului barisan terdepan.
            Gemercik air terlintas disamping kiri telingaku. Terlihat sebuah sungai yang beraliran kecil dan jernih. Kami hendak membasuh muka sejenak guna meringankan rasa lelah dan letih. Tak lama kemudian dering handphoneku berbunyi menandai bahwa petualangan kali ini cukup sampai disini.
            Si Doni kembali beraksi. Di tengah perjalanan Doni yang menganggap dirinya paling benar itu, seolah-olah menjadi ketua petualangan ini. Dia menunjukan jalan yang salah.
“hey.. lewat sini aja…! Disitu banyak hewan buasnya”
“masak sih!!” tanya Ilham.
“iya” jawab Doni sambil menakut-nakutiya.
“iih…ya udah lewat situ aja” kata Ilham.
“loh …. Ini kan jalan yang benar, masak mau lewat jalan yang lain?” Tanya Fajar.
“ini benar kok” jawab Doni.
“tapi sudah jelas-jelas itu jalan yang salah, nanti kalau pas tersesat apa kamu mau tanggung jawab?” Tanya Fajar dengan kesal.
“ayo dah  ini jalan tercepat dan teraman dan kupastikan saat perjalanan kalian melihat pemandangan yang indah-indah” jawab Doni.
            Doni berusaha membujuk teman-teman untuk menuruti apa kata dia dengan melewati jalan yang ia perintahkan. Meskipun Doni tidak tau kemana arah jalan itu.
“ayolah………”
“ok …. Tapi sesuai janji kamu, bahwa kamu akan tanggung jawab dan jika kita benar-benar tersesat, maka kamu harus merubah sikapmu.. ok?” kataku dengan mengajak Doni berjanji.
“ok…”
            Beberapa menit kemudiankami tidak tau kemana lagi kaki akan melangkah dan kami semua pun tersesat. Doni dan Fajar tidak henti-hentinya berdebat
“hey Don …gimana ini, kemana lagi mau pergi, jalan mana lagi yang mau kita lewati?” Tanya Fajar.
“ehm gimana yah !!” jawab Doni.
“kamu tau nggak sih jalan ini? ” Tanya Fajar.
“ya tau lah .. buktinya kan ku bilang aman .. betulkan?, trus pemandangannya indah lagi” jawab Doni.
“ya itu mamang sih, tapi trus kita sekarang kemana ?” kata Fajar.
”tau ah” kata Doni dengan sikap cueknya.
“kamu ini giman sih, coba kalau kita lewat jalan yang biasanya kan pastinya udah nyampek rumah nih” jawab Fajar dengan kesal.
“biar,  kan enak bisa lama-lama disini” ujar Doni.
“eh kamu ini malah senang. Kita nya tersesat malah senang  uhhh” kata Fajar dengan kesal dan mendorong Doni hingga terjatuh sampai-sampai hampir memukulnya, mereka berdua saling berpegang teguh pada argumennya. Sampai-sampai ego mereka ikut campur, saling melontarkan kata-kata tidak baik dan tangan-tangannya saling beraksi karena ego masing-masing.
“udah  udah udah… ,sebaiknya sekarang kita mikir, gimana caranya agar kita semua dapat pulang dengan selamat” kataku.
            Semua teman-teman berpikir mencari ide-ide agar dapat mengetahui arah jalan pulang. Akhirya ide-ide itu hinggap di pikiranku. Aku menyuruh mereka naik ke atas bukit, karena ketinggian bukit dapat membantu melihat daerah-daerah di bawahnya. Tetapi itu sia-sia, karena jalan-jalan dibawahnya tertutupi oleh daun-daun pepohonan.
            Suasana semakin kacau, ditambah hujan yang turun semakin lebat. Fajar dan Doni tidak henti-hentinya berdebat. Sampai-sampai mereka saling tonjok-menonjok. Ku berusaha melerainya, namun si Doni dengan amarahnya malah semakin egois, malah semakin  buas, lesatan tangannya mengenai wajahku.
“aaaduuuhhhhh”
“kamu jangan ikut campur” kata Doni.
“Don… kamu jangan gitu. Ini kan juga salahmu” kataku.
“alah ..udah kamu tutup mulut aja” jawab Doni.
            Aku tidak henti-hentinya nasehati Doni, namun Doni tetap keras kepala. Akhirnya datanglah seorang kakek yang ada di rumah bambu tadi. Kakek itu langsung menunjukan jalan untuk pulang tanpa kami tanya.
“lewat sini” kata kakek itu.
“iya kek!!” kataku dan langsung mengikuti kakek itu.
“oh iya itu jalan yang tadi” ujar Ilham.
            Kaki-kaki kembali melangkah bergegas untuk pulang. Karena hawa dingin sedikit demi sedikit melumpuhkan semangat. Terbesit dalam pikiranku peristiwa 10 menit yang lalu. Dimana kakek-kakek itu datang dengan sendirinya.
“kenapa bisa tau ya kalau kita tersesat?, apa kakek itu punya indera ke enam, atau punya pendengaran super, atau juga kakek itu seorang penyihir….eh aku kok mikir kayak gitu …sudahlah yang penting kita semua dapat segera pulang” ucapan dalam hatiku.
            Doni tidak jera akan tindakannya itu.
“teman-teman, mestinya kalian tuh harus berterimakasih ke aku, kan aku yang menemukan rumah bambu itu” ujar Doni.
“emk… ” kata Fajar kepada Doni.
“kan betul lagi pula aku nggak mungkin salah kan?” tanya Doni.
“ehm …. Don …Don …Don,,…” sorak teman-teman dengan keras.
Tamat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar